Jumat, 15 Mei 2009

“MENGGAPAI MAQAM ULUL ALBAB”

Dalam era global seperti sekarang ini, persaingan antar negara, kelompok dan individu akan semakin ketat. Kita tidak mungkin dapat menghindari persaingan tersebut. Hanya generasi yang berkualitaslah yang mampu mengambil posisi dan mengambil peran di masyarakat global dunia.
Dalam persaingan ini seandainya umat Islam tidak mengoptimalkan kemampuan dirinya, maka peran sebagai khalifah Allah di muka bumi ini jelas tidak akan mampu diembannya. Dan bahkan akan diambil oleh bangsa lain.
Karena itu mari kita mengingat kembali dan merenungi posisi dan kedudukan kita sebagai umat Islam, yang disebut oleh al-Qur’an sebagai sebaik-baik umat. Dan yang lebih spesifik disebut dengan manusia ulul albab. Yaitu generasi khoiro ummah (sebaik-baik umat), yang menjadi ummatan wasathan (umat pilihan) dan menjadi shuhada ‘ala an-nas (menjadi saksi atas manusia).
Secara spesifik al-Qur’an menggambarkan karakteristik manusia berkualitas (ulul Albab) sebagai berikut; sebagaimana arti dari surat Al-Zumar: 17-18:
“Sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang memiliki akal.”
Manusia berkualitas seperti inilah yang dimaksud al-Qura’n dengan ulul albab yang telah dianugerahi hikmah oleh Allah. Dalam ayat lain ditegaskan lagi, QS. Ali Imran:190-191:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulul Albab), yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Kemudian dalam QS. Al-Baqarah: 269, Allah SWT. berfirman,
Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur'an dan as-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
Ulul Albab bukanlah manusia yang cepat puas dan berwatak nrimo. Mereka yakin akan tugas dasar manusia, yaitu sebagai makhluk yang akan memakmurkan dunia bukan merusak dan menyengsarakan orang lain, dalam al-Qur’an surat Hud: 61, disebutkan:
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do`a hamba-Nya).”
Keyakinan ini telah menempa watak mereka menjadi makhluk yang senantiasa merekayasa hari depan yang lebih baik, karena mereka senantiasa didorong oleh tuntutan tugas, yang menghendaki setiap manusia berusaha meningkatkan kualitas diri. Mereka bekerja dan berusaha seolah-olah akan meninggalkan dunia besok hari. Dalam QS. al-Nur: 37 mereka digambarkan sebagai berikut;
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”
Mereka berusaha mengembangkan kemampuan pribadinya karena termotivasikan pesan Rasulullah, yang telah menyatakan:
“Barangsiapa yang hari ininya lebih baik dari kemarinnya itulah orang yang berjaya; barangsiapa yang hari ininya sama dengan kemarinnya itulah orang yang rugi dan barangsiapa hari ininya lebih jelek dari hari kemarinnya itulah orang yang kena laknat.”
Mereka berwatak terbuka, suka mempelajari hal-hal baru dan senang mendengarkan setiap masukan dari manapun datangnya, namun pandai menyaring masukan yang paling bermanfaat bagi kemajuan dirinya. (QS. Az-Zumar: 17-18).
Keyakinan mereka akan sifat-sifat sunnatullah yang mengatur alam dan kehidupan di dunia yang pasti (exact atau qadar), (QS. Al-Furqan: 2; Al-Thalaaq: 3), tetap (immutable), (QS. Al-An’am: 115 ; Al-Israa’: 77), dan objectiv (QS. Al-Anbiyaa’: 105) telah menempa watak mereka menjadi orang yang senantiasa optimistik dalam menghadapi masa depan. Pengalaman mereka yang akrab dengan alam telah meyakinkan diri mereka, akan kemampuan manusia menjadi pemimpin atau khalifah di muka bumi ini, demi memakmurkan kehidupan manusia.
Dalam QS. An-Nur: 55 Allah SWT. berfirman,
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Sifat dan sikap yang tumbuh dan berkembang dari keyakinan ini telah membuat mereka menjadi profesional sejati, karena sikap ini melahirkan kemampuan berhubungan dengan sesama manusia secara manusiawi (habl min al-nas) sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki setiap pemimpin atau manager modern.
Setelah memerinci ciri-ciri manusia berkualitas yang tercermin pada manusia ulul albab. Mari kita bawa sifat ulul albab itu dalam lingkup kita yang lebih real yaitu dunia pendidikan. Kita yang hidup di kota pendidikan ini, di sisi Allah sangat mulia, karena di tempat ini tempat berkumpulnya para pecinta ilmu. Dan Allah menghargai orang-orang berilmu dengan derajat lebih dari yang lain. Allah berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadalah: 11)
Dalam sebuah hadits disebutkan tentang keutamaan orang alim di atas keutamaan orang beribadah sebagai berikut:
“Keutamaan orang berilmu atas orang yang ahli beribadah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang yang lain.” (HR. Abu Na’im)
Maka dari itu, mari kita jaga komunitas yang terhormat ini dari perilaku-perilaku yang tidak terhormat, jangan kita nodai dengan tingkah-tingkah rendahan, yang hanya menyusahkan kehidupan, akan tetapi marilah kita ajak diri kita menjadi agen pemakmur dunia yang menyebarkan kesejukan dan kedamaian.
Para salaf shalih telah memberikan contoh yang terbaik kepada kita, ketika mereka benar-benar dipuji Allah sebagai khoiro ummah. Munculnya Islam dengan kebudayaan barunya merupakan peristiwa yang dahsyat sekali dan banyak dikagumi oleh para ilmuan, baik di Timur maupun di Barat. Dan ada baiknya kalau kita menengok salah satu ungkapan kekaguman dari mereka ilmuan Barat, kata-kata pengakuan dari sejarawan Barat yang bernama Will Durant dalam bukunya “The Story of Civilization” sebagai berikut:
“Gustinian, tuan Imperium Besar, mangkat pada tahun 565 M, yang kemudian disusul dengan kelahiran Muhammad, lima tahun sesudahnya. Dia dari keluarga fakir pada suatu daerah yang tiga perempatnya berupa padang pasir kerontang dan kurang dihuni oleh banyak penduduk. Mereka itu adalah kabilah-kabilah Badui yang suka berpindah-pindah, apabila dikumpulkan kekayaannya tidak cukup untuk membangun gereja Aya Sofia. Dan tidak ada seorang pun pada waktu itu yang bermimpi bahwa tidak sampai satu abad, orang-orang Badui itu mampu membebaskan separuh kekuasaan Bizantium di Asia, seluruh daerah kekuasaan Persia, Mesir, bagian besar Afrika Utara, dan mulai mengembangkan sayapnya ke Spanyol.…Sungguh kejadian itu merupakan gejala sosial yang paling menakjubkan dalam abad-abad pertengahan.”
Itu adalah contoh kongkrit yang diberikan Nabi dan para sahabat kepada kita, dan kita wajib untuk meneladaninya. Demikian sedikit ulasan tentang ulul albab, semoga bermanfaat dalam rangka pengembangan kualitas pribadi umat Islam. Wallahua’lam wa khairul musta’an.

MEMBANGUN ETOS KERJA

Oleh Wildana Wargadinata*
Menurut Firthjof Schoun (Filsuf Muslim asal Swis) Nabi Muhammad bersama dengan nabi Ibrahim dan Nabi Musa, adalah nabi-nabi yang mengajarkan tentang Tuhan Yang Maha Esa dan cara pendekatan kepada Nya melalui amal perbuatan yang baik, sehingga ajaran mereka disebut ethical monotheism. Berbeda dengan Bhuda Gautama dan Isa al-Masih. Karena itu banyak ilmuan yang memberikan harapan besar kepada Islam karena ajarannya semata-mata mengajarkan pengabdian atas dasar kerja. Tulisan ini akan membahas secara normatif etos kerja dalam perspektif Islam.
Etos berasal dari kata Yunani, dapat mempunyai arti sebagai sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja. Dari kata ini lahirlah apa yang disebut dengan “ethic” yaitu pedoman, moral dan perilaku atau dikenal pula etiket yang artinya cara bersopan santun. Sehingga dengan kata etik ini, dikenal istilah etika bisnis yaitu cara atau pedoman perilaku dalam menjalankan suatu usaha dan sebagainya. Karena etika berkaitan dengan nilai kejiwaan seseorang, maka hendaknya setiap pribadi muslim harus mengisi etika tersebut dengan keislamannya dalam arti yang aktual, sehingga cara dirinya mempersepsi sesuatu selalu positif dan sejauh mungkin terus berupaya untuk menghindari yang negatif. Etika yang juga mempunyai makna nilai kesusilaan, adalah suatu pandangan batin yang bersifat mendarah mendaging. Bukan pandangan yang bersifat sosiologis, tetapi benar-benar sebuah keyakinan yang mengakar sedalam-dalamnya dalam jiwa kita. Dengan demikian yang dimaksudkan etos kerja adalah norma serta cara dirinya mempersepsi, memandang dan meyakini sesuatu. Atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok.
Menurut Toto Tasmara tidaklah semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan. Karena di dalam makna pekerjaan terkandung tiga aspek yang harus dipenuhinya secara nalar, yaitu:
1. Bahwa aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan tanggung jawab (motivasi).
2. Bahwa apa yang dilakukan tersebut ada kesengajaan, sesuatu yang direncanakan, karenanya terkandung di dalamnya suatu gabungan antara rasa dan rasio.
3. Bahwa yang dilakukan itu dikarenakan adanya sesuatu arah dan tujuan yang luhur, yang secara dinamis memberikan makna bagi dirinya bukan hanya sekedar kepuasan biologis statis seperti misalnya (suami istri melakukan hubungan sebadan), tetapi adalah sebuah kegiatan untuk mewujudkan apa yang diinginkannya agar dirinya mempunyai arti.
Di sisi yang lain makna “bekerja” bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset, fikir dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khoiro ummah) atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Untuk lebih jelasnya, coba tengok perilaku kegiatan seorang tukang kayu. Dia menebang pohon, menggergaji, mengampelas dan kemudian membentuk potongan demi potongan menjadi sesuatu yang menakjubkan dalam bentuk ukiran, meja, lemari, atau kerajinan lainnya.
Pada saat dia memandang pohon itu tergambar dalam rasa dan rasio sesuatu (apakah meja atau kursi) dan kemudian dengan dorongan (motivasi jihad) gambaran tersebut dia aktualisasikan dalam bentuk “kerja”.
Maka dari sini kita melihat bahwa dalam makna bekerja, manusia itu mengatasi alamnya. Dia menundukkan alam, dan karenanya berbeda dengan binatang yang bersifat statis serta menjadi bagian dari alam. Sebaliknya, manusia justru karena kedinamisannya mampu mengolah dan mengarahkan alam untuk tunduk pada dirinya.
Dengan demikian secara lebih ringkas, bahwa yang dimaksudkan dengan kualitas hidup islami adalah sebuah lingkungan yang dilahirkan dari semangat tauhid, yang dijabarkan dalam bentuk pekerjaan (amal sholeh).
Mengingat amal sholeh tersebut harus aktual, jelas dan tampak maka di dalam semangat diri pribadi muslim tersebut terkandung motivasi, arah, rasa dan rasio yang seluruhnya dimanifestasikan dalam bentuk tindakan (action).
Islam menjadikan bekerja sebagai hak dan kewajiban individu. Rasulullah menganjurkan bekerja dan berpesan agar melakukannya sebaik mungkin. Rasulullah juga berpesan untuk berlaku adil dalam menentukan upah kerja dan menepati pembayarannya. Pondasi utama yang diletakkan Islam dalam mengatur perolehan penghidupan (makanan pokok) manusia adalah dengan bekerja. Seperti dijelaskan hadits-hadits berikut ini:
“Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil keterampilan tangannya sendiri. Nabi Allah Daud a.s. makan dari hasil kerja sendiri”. (HR. Bukhari)
“Sesungguhnya allah mencintai hamba yang berkarya. Dan barangsiapa bekerja keras untuk keluarganya maka ia seperti pejuang di jalan Allah Azza wa Jalla”. (HR. Ahmad).
“Barangsiapa di malam hari merasa letih karena bekerja dengan tangannya, maka di malam itu ia memperoleh ampunan Allah”. (HR. Ahmad)
Al-Qur’an menjelaskan bahwa pengemban risalah agama dari kalangan nabi dan rasul sepanjang sejarah adalah orang-orang yang berkarya. Di samping mengemban misi suci (risalah agama), mereka juga bekerja.
Nabi Nuh a.s. adalah seorang nabi dan rasul, namun ia juga salah seorang perintis di bidang industri. Allah mewahyukan kepadanya untuk membuat kapal laut untuk untuk menyelamatkan dirinya dan orang-orang beriman dari keganasan angin topan. Permulaan pembuatan kapal adalah dengan tangannya sendiri.
Bapak para nabi, Nabi Ibrahim a.s. menangani pembangunan gedung. Bersama putranya, Nabi Ismail a.s. pernah mengangkat pondasi Ka’bah di Mekah al-Mukarramah. Nabi Yusuf a.s. menggagas pemikiran ekonomi dalam rangka perbaikan manajemen pangan rakyat. Ia pernah mengusulkan kepada penguasa Mesir untuk menanam, memanen dan menyimpan kelebihan pangan untuk persediaan dimusim krisi pangan. Ia pernah ditugaskan oleh penguasa Mesir untuk mengelola sumber-sumber alam di negeri itu untuk membantu rakyat meningkatkan penghasilan mereka.
Nabi Musa a.s. dengan didukung fisik yang kuat dan kejujurannya bekerja pada Nabi Syu’aib a.s. dalam mengelola harta dan membantunya selama sepuluh tahun hingga akhirnya dinikahkan dengan salah seorang putrinya. Dan Nabi Daud a.s. memelopori pembuatan baju perang dari besi, dan ia makan dari hasil jerih payahnya itu.
Hadits-hadits Nabi saw. yang memuat tentang anjuran bekerja, diantaranya adalah: “Iman tidak diterima tanpa amal, dan amal pun tidak diterima tanpa iman”. (HR. Thabrani). “Mencari (rizki) yang hala adalah wajib setelah kewajiban (yang lain)”. (HR. Thabrani)
“Sesungguhnya di antara dosa-dosa terdapat dosa-dosa yang tidak terhapuskan dengan shalat, sedekah dan haji. Dan ia terhapuskan dengan jerih payah untuk mencari penghidupan (rizki)”. (HR. Thabrani)
Banyak pengamat yang menilai etos kerja masyarakat Indonesia sangat rendah. Kuntjaraningrat mencontohkan rendahnya etos kerja masyarakat antara lain tercermin dalam hal suka meremehkan waktu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak disiplin dan suka mengabaikan tanggung jawab. Memperhatikan kenyataan ini perlu diupayakan peningkatan etos kerja tersebut secara terus menerus dengan berbagai jalur dan metode. Menurut Kuntjaraningrat, sekurang-kurangnya ada empat upaya dalam meningkatkan kualitas etos kerja ini, yaitu memberikan contoh yang baik, memberikan perangsang-perangsang yang cocok, persuasi dan penerangan, serta pembinaan dan pengasuhan generasi muda untuk masa depan sejak kecil di dalam kalangan keluarga.
Kenyataan ini jauh berbeda dengan idealitas ajaran Islam, Ibnu Taimiyah bahkan menegaskan hanya Islamlah agama yang memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas kerja, “ penghargaan dalam jahiliyah berdasarkan keturunan dan penghargaan dalam Islam berdasarkan kerja”. Dalam surat al-Najm ayat 38-41 ditegaskan
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna,”
Semoga kita menjadi muslim yang memiliki etos kerja yang tinggi amin. Allahumma ihdina Ya Rab.

* Penulis adalah Kajur Bahasa dan Sastra Arab Fak. Humaniora dan Budaya UIN Malang

Senin, 11 Mei 2009

IBRAH KEMATIAN

Oleh H. Wildana Wargadinata, Lc., M.Ag*
Setiap hari iringan keranda kematian berlalu di depan kita, kita menyempatkan diri untuk sejenak untuk memberi penghormatan dan bergumam inna lillah. Setiap hari senandung la ilaha illallah kita dengar mengiringi kepergian sang mayit ke hadirat ilahi rabbi. Undangan tahlil tidak pernah putus… hari ini pada saat yang mulia ini mari kita renungkan kembali seberapa besar ibrah kematian dapat kita ambil? Seberapa jauh hati kita tersentuh, bahwa kematian adalah salah satu episode kehidupan yang pasti, untuk menuju episode berikutnya? kemudian sejauh mana persiapan kita untuk menyongsong kepastian itu?
Dalam ayat-ayat pertama Surat al-Baqarah diterangkan sifat-sifat utama kaum bertaqwa, yaitu: (1) beriman kepada yang gaib, (2) menegakkan salat, (3) mendermakan sebagian dari harta yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka, (4) beriman kepada kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w., (5) beriman kepada kitab suci yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad s.a.w., (6) yakin akan Hari Kemudian (Akhirat).
Dari sifat-sifat utama kaum bertaqwa itu, sifat yang terakhir, yaitu yakin akan Hari Kemudian, bersangkutan langsung dengan masalah kematian. Yaitu bahwa kematian bukanlah akhir dari segala pengalaman eksistensial manusia, melainkan permulaan dari jenis pengalaman baru yang justru lebih hakiki dan lebih abadi. Jika eksistensi manusia ini dilukiskan sebagai garis berkelanjutan, kematian hanyalah sebuah titik dalam garis itu yang menandai perpindahan dari satu fase ke fase yang lain. Tetapi karena masalah kematian dan apa yang akan terjadi setelah kematian itu sendiri adalah masalah yang tidak empiris (artinya, tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman atau "penelitian" manusia yang masih hidup), maka tekanan dalam deretan firman-firman awal Surat al-Baqarah itu ialah "iman" atau "percaya" dan "yakin". Yakni, percaya dan yakin kepada "berita" dari Allah sebagaimana dibawa oleh para "pembawa berita" atau Nabi
Kematian adalah peristiwa yang mengerikan, mungkin paling mengerikan dalam pikiran manusia yang masih hidup. Di antara kemungkinan pengalaman hidup manusia, barangkali tidak ada yang lebih menakutkan daripada kematian. Karena itu hukuman mati, dalam semua peradaban manusia sampai dengan akhir-akhir ini merupakan hukuman tertinggi dan penghabisan. Namun cukup aneh, bahwa banyak orang, jika ditilik dari tingkah lakunya sehari-hari, seolah-olah ia beranggapan bahwa hidup ini akan berlangsung terus, tanpa akhir. Pandangannya yang keliru itu menimbulkan perilaku kurang bertanggung jawab, karena tipisnya kesadaran bahwa semuanya ini akan berkesudahan, dan bahwa setiap pribadi akan menerima akibat perbuatannya, yang baik dan yang jahat. Misalnya, seperti dilukiskan dalam al-Qur'an, ada segolongan manusia yang sedemikian sibuknya dengan kegiatan mengumpulkan harta kekayaan dan baru berhenti setelah masuk liang kubur, atau mereka itu menduga bahwa harta kekayaan akan membuatnya hidup terus-menerus secara abadi. Ada pula dari kalangan mereka yang berkeinginan untuk hidup seribu tahun, karena tidak melihat kemungkinan kebahagiaan lain selain yang ada di dunia ini saja. Maka al-Qur'an pun senantiasa memperingatkan kita semua bahwa kematian adalah sebuah kemestian yang tidak terhindarkan, dan dalam semangat kesadaran akan akhir hidup itu kita hendaknya mengisi kehidupan ini dengan sungguh-sungguh memenuhi kewajiban moral kita.
"Setiap pribadi pasti akan merasakan kematian. Dan kamu pun pasti dipenuhi balasan-balasanmu di Hari Kiamat" (Ali Imron 185)
"Setiap pribadi pasti akan merasakan kematian. Dan Kami menguji kamu semua dengan keburukan dan kebaikan sebagai percobaan." (Al-Ambiya 35)
"Setiap pribadi pasti akan merasakan kematian. Kemudian kepada Kami (Tuhan) kamu sekalian akan dikembalikan." (Al-Ankabut 57)
"Di manapun kamu berada, kematian pasti akan menjumpaimu, sekalipun kamu ada dalam benteng-benteng yang kukuh-kuat." (An-Nisa’ 78)
Sejauh ini kematian hanya berlalu menjadi kejadian yang dianggap biasa. Kita hanya terhenyak sebentar, kemudian lupa, kembali tidak mawas diri, yang dulunya korupsi ya tetap korupsi lagi, yang maksiat tetap juga. Kematian menjadi peringatan yang sia-sia. Seolah-olah kita tidak akan mati. Seorang ulama besar Hasan al-Basri pernah berkata: tidaklah aku dapati kebenaran yang serupa benar dengan kebohongan kecuali kematian. Kata-kata ini merupakan ilustrasi yang paling tepat tentang sikap manusia dalam menjalani hidup dan menghadapi kematian. Manusia mesti tahu bahwa kehidupannya itu tidak langgeng dan kematian pasti datang, akan tetapi mereka belum mempersiapkan hari akhir dengan persiapan yang layak. Seolah hari balasan tidak ada, hidup santai bahkan ada yang mendustakan hari kimat, padahal hari kiamat merupakan hari kepastian yang ditentukan Allah, Allah berfirman:
“Pada hari ketika manusia dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakanNya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya”. (Al-Mujadalah 6)
“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi bagi Allah”. (Al-Haqah 18)
“Sesungguhnya kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya. Dan orang kafir berkata: “andai dulu aku berupa tanah saja.” (An-Naba’ 40)
Mengingat akan adanya hari kiamat bukan sekedar khayalan sunyi yang hampa. Akan tetapi mengingat adanya hari kiamat adalah pendidikan dan penuntun yang menghindarkan kita dari perbuatan jahat dan dorongan untuk berbuat kebaikan. Dorongan itu muncul karena pada hari pembalasan semua kebaikan dan kejahatan pasti dibalas dengan setimpal. Hal yang terpenting untuk kita adalah yakin adanya hari akherat sebagaimana kita yakin akan kehidupan di dunia. Kita yakin hidup di dunia itu akan berakhir.
Kematian memang merupakan sebuah misteri. Tetapi, dalam hal ini, kehidupan pun merupakan sebuah misteri. Mengapa kita hidup? Dan mengapa kemudian kita mati? Allah menciptakan kematian dan kehidupan untuk memberi kesempatan kepada kita tampil sebagai makhluk moral. Yaitu makhluk yang memiliki kemampuan untuk berbuat baik atau jahat. Dan Allah hendak "menguji" kita, siapa di antara kita yang paling dalam amal perbuatan: "Maha Tinggi Dia, yang ditangan-Nyalah berada segala kekuasaan memerintah, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia yang telah menciptakan kematian dan kehidupan, agar Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang paling baik amal perbuatannya. Dan Dia itu Maha Mulia lagi Maha Pengampun."
Dengan begitu menjadi amat jelas bahwa hidup mempunyai tujuan, dan wujud tujuan itu akan terlihat dalam kehidupan setelah mati. Karena itu hidup ini sering digambarkan sebagai perjalanan menuju tujuan yang sebenarnya, yaitu Allah "Sangkan-Paran" kita semua. Hidup ini harus dijalani dengan sungguh-sungguh, agar tidak lewat begitu saja kepada kita dengan sia-sia.
Karena itu mari kita renungi kembali tujuan hidup kita ini. Tujuan hidup kita jelas untuk mengemban amanat Ilahi, meminjam kekuasaan Allah untuk memakmurkan dunia serta beribadah kepadaNya, kehidupan kita jelas tidak sia-sia hampa tanpa tujuan.
Allah berfirman:
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu’minun 115)
Tidak ada masa depan di sisi Allah bagi orang yang tidak memanfaatkan hidupnya dengan segala kebaikan. Allah adalah Zat Yang Maha Suci, dan tidak tempat bagi manusia untuk hidup di sisi Allah kalau tidak memanfaatkan hidupnya untuk mensucikan diri. Allah adalah Maha Mulia, maka tidak ada tempat bagi orang-orang yang berbuat jahat di sisiNya. Allah Maha Tahu, tidak ada tempat bagi orang yang yang tidak mau menyinari dirinya dengan ilmu. Allah Maha Baik, tidak ada tempat bagi kejelekan. Allah Maha Bersih, tidak ada tempat bagi kekotoran.
Seorang muslim yang masih mengotori dirinya dengan kesombongan, juga harus disucikan dulu sebelum masuk surga. Penghuni surgapun bila berbuat kotor dan sombong juga harus keluar sebagaimana keluarnya syetan dari surga.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit”. (Al-A’raf:40)
Manusia diciptakan dari unsur tanah, nutfah yang kotor dan terhina kemudian diberi ruh. Manusia diberi kesempatan untuk membersihkan diri, menundukkan hawa nafsu, hingga layak kembali kepada yang Maha Suci. Sedang manusia yang hidupnya berlumur dosa bukanlah ahli sorga. Setiap kita dituntut untuk membekali diri dengan amal kebajikan yang dapat mensucikan diri kita dari sifat-sifat hewani kita. Karena kita akan kembali kepada Yang Maha Suci dan Maha Mulia, maka kita harus membekali diri kita dengan kemuliaan, menghilangkan unsur kekotoran dalam diri kita.
Allah berfirman:
“Yaitu orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan kepada mereka Salaamun ‘alaikum, masuklah kamu ke dalam sorga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. (An-Nahl:32)
Islam mengkaitkan hubungan yang sangat erat antara kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, sebagaimana mengkaitkan perbuatan jahat dengan balasannya di akherat. Maka orang yang berbuat jahat pasti akan menerima balasannya.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-orang yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapanNya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai”. (Yunus:81-82)
Allah berfirman:
Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka, amat buruklah apa yang mereka sangka itu.(Jasiyah:21)

* Penulis adalah Kajur Bahasa dan Sastra Arab Fak. Humaniora dan Budaya UIN Malang

Jumat, 08 Mei 2009

MEMBUKA KORIDOR UKHUWAH ISLAM

Oleh H. Wildana Wargadinata, Lc., M.Ag*

Misi dasar kedatangan Islam adalah kedamaian dan rahmat bagi sekalian alam. Kedamaian dan kebahagiaan ada dalam persaudaraan. Seseorang akan merasa tersiksa jika berada dalam sebuah keterasingan atau bila dikucilkan dari sebuah komunitas. Persaudaraan itu tumbuh dari adanya perkenalan, perkenalan terjadi karena pertemuan. Dan dari pertemuan, tumbuh kasih sayang, orang bilang, “tak kenal maka tak sayang”. Untuk menuju sebuah perdamaian, manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya harus berdasarkan pada keyakinan bahwa semua manusia itu bersaudara dan bahwa anggota masyarakat muslim itu juga bersaudara.
Rasulullah mengawali risalahnya dengan gerakan taakhy (persaudaraan), mula-mula kabilah-kabilah di Makkah disatukan dalam kata Muhajirin. Sedang suku-suku di Yatsrib disatukan di bawah kata kaum Anshar, kemudian dilebur dan disatukan di bawah kata kaum Muslimin. Islam sendiri sering mengingatkan kita kepada asal kita, yang berasal dari seorang laki-laki dan perempuan (Al-Hujurat; 13). Dan asal kita dari umat yang satu (Al-Anbiya; 92).
Semua itu berproses, namun perjalanan waktu kemudian, membawa umat yang satu itu kepada perpecahan kembali, Islam terus mengingatkan kita kepada risalah persaudaraannya, seperti yang tersebut dalam surat Al-Hujurat ayat 10, bahwa semua orang mukmin itu bersaudara. Dan bahwa perbedaan suku, bangsa, bahasa yang diciptakan Allah adalah untuk saling mengenal dan saling memahami perbedaan masing-masing bukan untuk berpecah dan berperang (al-Hujurat; 13).
Untuk menuju kepada persaudaraan secara menyeluruh perlu proses dan perangkat. Dalam hal ini Rasulullah memberi contoh, seperti pada waktu hijrah, yang pertama kali terpikir dan dilakukan beliau adalah sebuah tempat berkumpul yang ideal. Rumah-rumah sahabat, sudah tidak memungkinkan lagi, karena umat Islam semakin banyak. Maka dibangunlah masjid-masjid. Masjid-masjid itu oleh nabi diberi nama dengan Baitullah, yang mengisyaratkan bahwa tempat itu tidak dimiliki oleh seseorang tapi milik semua kaum Muslimin, sehingga seorang muslim tidak perlu sibuk minta ijin.
Masjid yang pertama kali dibangun adalah masjid Quba’, di tengah perjalanan Rasul ke Yatsrib, dan begitu sampai di Yatsrib yang pertama kali dilakukan Rasul adalah membangun masjid dengan tangannya sendiri.
Banyak hal yang dilakukan Rasul dengan masjidnya, tapi yang paling utama setelah untuk ibadah adalah sebagai sarana berkumpul umat Islam. Karena dengan perkumpulan tersebut umat Islam bisa bertemu, pertemuan adalah langkah menuju perkenalan, dari perkenalan tumbuh kasih sayang dan selanjutnya terbangunlah persaudaraan.
Di Mesir sendiri, masjid lebih dikenal dengan Gami’. Kalau ditanya, “fen masjid?”, mereka akan menggeleng-gelengkan kepala, tanda tidak mengerti, tapi begitu ditanya, “fen Gami’?”, mereka akan secepat kilat menjawab, “aho... aho, gami’ aho”. Jami’ sendiri berarti tempat berkumpul dan bertemu. Di sini nampak fungsi masjid sebagai tempat berkumpul sangat dipahami oleh orang Mesir. Dalam fiqh pun disebutkan bahwa shalat jamaah hukumnya sunah muakkadah, hampir wajib. Itu semua tidak lain, untuk menjaga eksistensi persaudaraan umat Islam itu sendiri.
Agar ukhuwah islamiyah ini terwujud, pertama, harus ada husnudzdzan, prasangka baik terhadap semua saudara. Kalau sejak semula kita punya prasangka buruk, maka segala apa yang dilakukan oleh pihak lain, walaupun itu baik, kita tafsirkan jelek, sehingga menimbulkan keretakan. Kedua, tidak ada monopoli kebenaran, hanya kelompok ini yang benar yang lain salah semua atau monopoli kesalahan kelompok itu salah terus. Prasyarat yang lain agar ukhuwah ini terwujud adalah latar belakang pendidikan seseorang. Semakin tinggi pengetahuan seseorang bisa diharapkan semakin tinggi toleransinya. Sebaliknya semakin rendah pengetahuan seseorang, semakin besar kemungkinan timbulnya hal-hal yang negatif.
Ada hal-hal lain yang perlu dihindari agar ukhuwah ini terwujud: Pertama, hendaknya kita jangan memperolok-olok atau mencemooh orang lain. Allah berfirman: “Wahai kaum yang beriman, janganlah kamu memperolok-olokkan kaum yang lain, barangkali kaum yang lain itu lebih baik daripada mereka.” (Al-Hujurat: 11)
Kedua, tidak boleh berprasangka buruk, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah sebagian besar dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain, jangan pula sebagian kamu menjelek-jelekkan sebagian lain. Adakah diantara kamu yang suka makan daging saudaranya sendiri yang telah mati.” (Al-Hujurat: 12)
Memata-matai juga mencakup mencari-cari kesalahan orang lain.
Ketiga, ukhuwah tidak akan terwujud bila umat Islam berpandangan sempit (ta’assub) terhadap mazhab atau golongannya masing-masing. Fanatisme golongan juga menyebabkan munculnya vested interest pribadi dan golongan. Golongannya sendiri yang diperjuangkan, golongannya yang paling benar, yang lain tidak benar dan tidak perlu dibantu. Ketika orang muslim kembali dikuasai oleh kepentingan pribadi dan golongan. Sejak saat itulah tidak terlihat lagi perwujudan ukhuwah yang betul-betul sesuai dengan yang diinginkan Islam.
Untuk tercapainya suatu ukhuwah yang kuat, dalam kehidupan yang beraneka ragam ini, peran komunikasi (silaturrahmi) sangat menentukan. Yang penting adalah saling pengertian dan memahami (ta’aruf), kemudian bersikap toleran terhadap perbedaan kondisi, dalam rangka fastabiqul khoirat, selanjutnya perlu diwujudkan ta’awun, kerjasama dalam bidang-bidang kebaktian (birr). Ta’awanu ‘alal-birri wat-taqwa.
Di akhir tulisan ini, saya kutip sebuah kisah semoga dapat diambil hikmahnya:
“Aku minta ijin untuk berjumpa dengan Imam Ja’far Ash-Shadiq”, Abu Hanifah mengawali kisahnya. “Tetapi beliau tidak memperkenankan diriku.” Kebetulan datanglah rombongan orang-orang Kufah untuk minta ijin bertemu beliau, dan aku pun masuk bersama-sama mereka. Setelah aku berada di sisi beliau akupun berkata: ”Wahai cucu Rasulullah, alangkah baiknya jika baginda menyuruh orang pergi ke Kufah dan melarang penduduknya mengecam sahabat Rasulullah, aku melihat di sana lebih dari sepuluh ribu orang mengecam sahabat.” “Mereka tidak akan menerima laranganku”, jawab Beliau. “Siapa yang berani menolak anda, padahal anda adalah cucu Rasulullah.” Imam Ja’far menjawab: ”Anda adalah orang pertama yang tidak menerima perintahku, anda masuk tanpa seijinku, duduk tanpa perintahku, berbicara tidak sesuai dengan pendapatku. Telah sampai kepadaku bahwa anda menggunakan qiyas?” “Benar” kata Abu Hanifah. “Celaka anda hai Nu’man. Orang yang pertama menggunakan qiyas adalah iblis, ketika Allah menyuruh bersujud kepada Adam, lalu ia menolak dan berkata engkau ciptakan aku dari api dan engkau ciptakan ia dari tanah.” “Hai Nu’man, mana lebih besar dosanya, membunuh atau berzina?” “membunuh” jawab Abu Hanifah. “Tapi mengapa Allah menetapkan dua saksi untuk kasus pembunuhan dan empat orang untuk zina! Anda menggunakan qiyas untuk itu?” tidak , jawabnya. “ Mana yang lebih besar najisnya, air kencing atau air mani? “air kencing”. “Mengapa untuk kencing diperintahkan wudhu’ dan untuk mani diharuskan mandi, apakah anda menggunakan qiyas dalam masalah itu”. “Tidak”. “Mana yang lebih besar pahalanya, melakukan shalat atau puasa?”. “Shalat” Jawabnya. “Tetapi mengapa wanita yang haid harus mengqodlo’ puasanya dan tidak mengqodho’ shalatnya ? Apakah anda menggunakan qiyas untuk itu?”, ”tidak”.”Mana yang lebih lemah, wanita atau pria?” “wanita”. Tetapi mengapa Allah memberikan warisan dua bagian untuk pria dan satu bagian untuk wanita, apakah anda menggunakan qiyas untuk itu?” “Tidak “jawab Abu Hanifah.
Dialog ini kita hentikan sampai disini, diriwayatkan kemudian Abu Hanifah menjadi murid Imam Ja’far. Padahal Abu Hanifah adalah imamnya Kaum Sunni sedang Imam Ja’far adalah imamnya Syi’ah. Kepada Imam Malik berguru Imam Syafi’i, kepada Imam Syafi’i berguru Imam Hambali. Secara singkat madzhab-madzhab besar itu berhulu kepada sumber yang sama!!! Lantas kenapa kita harus berpecah??? Rabbuna Yahdina.

* Penulis adalah Kajur Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Malang

Rabu, 06 Mei 2009

MENSUCIKAN SEJARAH

Dalam bukunya Islam a short history, Karen Armstrong menyebutkan bahwa salah satu misi pokok ajaran Islam adalah penyucian sejarah. Hal ini sangat jauh berbeda dengan misalnya dalam tradisi Hindu yang menghilangkan sejarah dalam tradisi ajarannya dan menganggapnya tidak penting. Dalam injil Yesus sering kali menjelaskan kepada pengikutnya bahwa kerajaannya bukan di dunia ini, namun hanya dapat ditemukan dalam diri umat beriman. Kerajaan ini tidak akan muncul dengan gegap gempita politik, tetapi akan berkembang setenang dan sehalus biji mustard yang berkecambah. Di dunia Barat modern kita telah membuat sebuah titik yang memisahkan agama dari politik; awalnya sekularisasi ini oleh para filsuf Pencerahan dianggap sebagai sarana dalam membebaskan agama dari penyelewengan urusan-urusan negara, dan memungkinkan agama mampu menjadi dirinya yang sebenarnya.
Dalam Islam seorang muslim mencari Tuhan dalam sejarah. Kitab Suci mereka memberi mereka misi, yaitu misi historis. Menciptakan komunitas yang adil di mana semua anggotanya bahkan yang paling lemah dan papa sekalipun diperlakukan dengan hormat.
Seorang muslim harus menyelamatkan sejarah. Artinya berbagai urusan negara bukan suatu pengalihan dari spiritualitas, melainkan urusan agama itu sendiri. Kehidupan politik yang baik bagi masyarakat muslim merupakan persoalan yang paling penting.
Politik disebut oleh orang Kristen sebagai sebuah sakramen: bagi seorang muslim politik adalah arena di mana Muslim merasakan dan memungkinkan Tuhan berfungsi secara efektif di dunia.

Selasa, 05 Mei 2009

WANITA DAN TANTANGAN MODERNITAS

Oleh: Wildana Wargadinata
Akbar S. Ahmed dalam bukunya Postmodernisme, menggambarkan dunia Barat dewasa ini sebagai berikut: Dunia dewasa ini adalah milik predator, para agre¬sor, para penakluk. Bersikap rendah diri dan lembut hati berarti terkutuk dan lemah. Kita disuruh keras, karena di luar sana adalah "rimba". "Survival for the fittest".
Ekonomi sekarang tidak lagi sekadar kegiatan pendistribusian barang-barang hasil produksi, akan tetapi berkaitan dengan produksi, distribusi, pertukaran, transaksi dan konsumsi tentang apa pun termasuk pengetahuan, pendidikan, moralitas, etiket, tubuh, kegairahan, ekstasi. Ekonomi kini telah dikuasai oleh semacam libidonomics (nemein: mendistribusikan+ libido: energi nafsu) yaitu pendistribusian rangsangan, rayuan, kesenangan, kegairahan dalam satu arena pertukaran ekonomi. Ekonomi kini tidak lagi berada di dalam wilayah ekonomi. Ia telah melampaui jagat ekonomi itu sendiri. Ekonomi kini berada di dalam area seksual, di dalam politik, di dalam komunikasi. Sebaliknya seksual, politik, komunikasi, pendidikan berada di dalam jagat ekonomi. Kini mempro¬duksi barang semacam shampo (relasi ekonomi) tidak lagi sekadar harus diiringi dengan memproduksi image dalam iklan (relasi komunikasi) akan tetapi juga memproduksi bujuk rayu, rangsangan, erotika (relasi seksual) secara bersama-sama (Piliang,1998: 84)
Bagi wanita, zaman media sekarang ini adalah perangkap tiranik dan menggiurkan, perangkap keindahan yang menyakitkan. Penampilan wajahnya harus anggun namun atraktif, tubuhnya sintal, langsing dan memiliki daya pikat seksual, pakaiannya mutakhir. Wanita tidak boleh buruk nafasnya, bau badannya, jerawatan. Maka para wanita banyak yang terkena neurosis (sakit saraf karena tegang), anorexia dan ketegangan. Rata-rata wanita harus tampil seperti Brooke Shields, sebaliknya jarang sekali dipersoalkan bahwa Brooke Shields mungkin ingin tampak seperti orang kebanyakan (Akbar,terj., 1993:254). Ketika ditem¬ukan CFC (cloro fluoro carbon) yang diperlukan untuk pembuatan kosmetik, AC dan lemari es, telah merusak lapisan ozon yang merupakan pelindung kehidupan manusia dari sengatan ultra violet dan panasnya matahari. Dan kini lapisan ozon di kutub utara dan selatan telah menipis (Ancok, 1995:123). Para wanita berdiri gamang, mereka pada satu sisi dituntut untuk tampil menor dan itu berarti merusak ozon, dan yang pasti mereka akan dituduh kaum hijau (green community) sebagai perusak lingkungan hidup, tapi kalau tidak berarti tidak bisa tampil atraktif.
Realitas eksploitasi dan penindasan terhadap kaum wanita dalam era media postmodern, semakin jelas dalam kasus maraknya aborsi melalui kacamata anali¬sis gender. Aborsi yang dalam bahasa latinnya adalah abortus provacatus artinya adalah pengguguran kandungan. Praktek ini sebetulnya bukanlah peristiwa yang sama sekali baru. Semenjak ribuan tahun yang lalu, praktek ini sudah dilaku¬kan dengan menggunakan jasa dukun penggugur kandungan. Akan tetapi pada seka¬rang ini, sejalan dengan semakin meningkatnya persamaan peran dan persamaan hukum wanita dengan pria di Indonesia ini, kasus aborsi meningkat dengan pesat. Beberapa hari terakhir ini kita dikejutkan dengan pemberitaan media masa tentang ditemukannya selusin jenazah bayi di tempat sampah, yang diduga kuat sebagai hasil pengguguran kandungan (Arifin, JP:Des' 1997).
Ada perbedaan alasan terjadinya aborsi jaman dulu dan jaman sekarang; kalau jaman dahulu unsur kekuasaan seksualitas yang didominasi kaum lelaki sangat dominan sedang aborsi yang marak di akhir abad ini, kaum wanita juga punya peran, meski dalam kenyataannya mereka tetap pada pihak yang dirugikan. Pada masa sekarang, tuntutan persamaan peran pada dasarnya juga mengarah kepada tuntutan untuk berperilaku sama dalam seksualitas, wanita tidak lagi pasif bahkan lebih agresif dari kaum pria. Kaum Wanita dalam mengungkapkan kebutuhan seksualitas lebih transparan dan vulgar. Dan ini dikuti dengan ketidakinginan untuk hamil, berbagai alat untuk tidak hamil diproduksi, namun ketika hamil juga dan itu banyak terjadi bagi kaum pemula yang kurang profe¬sional, mengambil jalan pintas aborsi.
Dari sudut analisis gender, prespektif penindasan terhadap kaum wanita semakin jelas. Pilihan aborsi adalah sebuah keterpaksaan yang bersifat rela¬sional- represip. Dikatakan demikian karena pilihan untuk melakukan aborsi bukan pilihan yang semata-mata pilihan yang bersifat individualistik, dalam hal ini adalah perempuan. Aborsi seperti diketahui secara umum, berawal dari hubungan seksual baik karena terpaksa maupun yang dilakukan dengan penuh kesadaran yang kemudian mengakibatkan terjadinya kehamilan yang tidak diingin¬kan. Maka alternatif untuk menutupi kehamilan yang tidak diinginkan ini dengan cara melakukan aborsi.
Dari semua pihak yang terlibat dalam praktek aborsi, perempuanlah yang menanggung segala akibatnya, baik fisik, mental dan sosial. Dari sejak awal, yakni mulai dari terjadinya hubungan seksual, sampai pada terjadinya aborsi, perempuan selalu berada pada pihak yang terkalahkan. Dari sudut pandang femi¬nisme, dalam praktek aborsi telah terjadi apa yang disebut dengan kekerasan gender (gender violence) baik yang diilakukan oleh kaum laki-laki maupun lingkungan sosial dan budaya yang mengandung gender bias (Arifin, JP:Mei 1997).
Perkembangan kapitalisme global dewasa ini telah menuju titik ekstrim bila tidak ada kontrol dari masyarakat, bila para kapitalis dibiarkan menentu¬kan standar nilai dan moral dari komoditi tersebut. Kita dapat melihat di dalam kapitalime global, apa pun dijadikan komoditi: kepribadian, kebugaran, penampilan tubuh, wajah kaki, betis sampai bencana, perang bahkan ... kema¬tian. Hampir semua komoditi ini di dalamnya mengandung persoalan-persoalan moral dan etika. Dapatkah semua persoalan moral, sosial dan etika dipercayakan pada kemurahan nurani sang kapitalis untuk mengatasinya? Bukankan nurani itu sendiri sangat rentan terhadap godaan buruk hawa nafsu dan energi libido yang dapat melumpuhkannya?.Wallahu A’lam Bisshawab.

“Meredam Keserakahan”

Oleh H. Wildana Wargadinata, Lc., M.Ag*

Di bawah naungan negara Islam (Dar al-Islam), setiap makhluk ciptaan Allah memiliki hak untuk hidup secara terhormat. Yang berhak untuk hidup terhormat tidak hanya manusia sebagai makhluk pilihan Allah, akan tetapi semua makhluk Allah mulai dari binatang, tumbuhan, alam semesta (langit dan bumi) sampai kepada manusia itu sendiri. Hanya karena dia ciptaan Allah, sudah cukup untuk menjadi jaminan makhluk itu memperoleh hak-hak untuk keluar dari kehidupan yang hina dina dan berhak untuk keluar dari berbagai macam kesengsaraan.
Beberapa kisah yang cukup terkenal, merupakan bukti akan jaminan hidup yang layak dalam komunitas Islam bagi semua makhluk hidup termasuk binatang, seperti kisah seorang wanita yang diklaim oleh Rasulullah akan masuk neraka karena ia menyiksa seekor kucing, sebaliknya seorang wanita dipastikan Rasulullah masuk surga karena dia memberi minum seekor anjing yang kehausan.
Dalam kisah yang lain Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, merasa gelisah hatinya ketika mendengar bahwa di Mesir unta-unta pembawa barang, dimuati barang yang sangat berat di luar kemampuan unta-unta tersebut. Saat itu juga beliau mengirim surat kepada gubernur Mesir: “Aku mendengar para kuli pembawa barang memuati untanya dengan beban yang di luar batas. Mulai saat ini buatlah peraturan yang melarang setiap unta dimuati lebih dari 600 liter.” Begitu juga ketika beliau dalam perjalanan turbanya, melihat banyak orang memakai pecut yang dilapisi besi berduri untuk memecuti kuda keretanya, begitu kembali ke kantornya beliau langsung menanda tangani surat keputusan yang melarang pemakaian pecut tersebut.
Beginilah perlindungan terhadap binatang dalam komunitas Islam, lalu bagaimanakah sikap Islam dalam menciptakan kehidupan manusia yang terhormat dan bermartabat?.
Manusia dalam al-Qur’an adalah makhluk pilihan Allah yang paling mulia. Untuk membahagiakan manusia, Allah menundukkan langit dan bumi di bawah kekuasaan manusia. Lebih dari itu manusia adalah khalifah (wakil) Allah di muka bumi ini. Sebagai konsekuensi logis dari prinsip pemuliaan manusia, Islam menolak keras kepada kemiskinan, karena tidak ada kehinaan dan kesengsaraan yang lebih tinggi dari kemiskinan, yang membuat kaum pria dan wanita terhina dan sengsara karenanya. Islam juga sangat mengecam peristiwa kelaparan dalam komunitas muslim. Karena ketika kampung tengah sakit (lapar), emosi gampang naik, dan ketika emosi, kerusakan dan kehancuranlah yang bakal terjadi. Maka Islam mentolelir kaum miskin yang kelaparan untuk meminta haknya kepada kaum kaya yang tidak peduli akan kesengsaraan lingkungannya. Islam menjanjikan pengampunan dan kemuliaan, sedang syaitan menjanjikan kesengsaraan dan kemiskinan serta mengajak untuk berbuat keji dan mungkar. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 268, yang artinya:
“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Setelah melakukan penolakan terhadap kemiskinan, Islam memberikan beberapa solusi untuk memberantas kemiskinan. Diantaranya adalah menumbuhkan solidaritas sosial dan kecaman terhadap keserakahan. Keserakahan yang dibungkus rapi dalam sistem ekonomi kapitalis dengan istilah penumpukan modal, mengantarkan umat Islam di negara kita kepada kondisi yang melahirkan lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty) bersama-sama dengan lingkaran keberlebihan (vicious circle of affluence). Lingkaran kemiskinan dapat tumbuh karena kondisi sebagai berikut: “Oleh karena kemiskinan maka produktifitas atau pendapatan menjadi rendah, dan disebabkan oleh kemiskinan membuat daya tawar maupun daya kerja lemah. Oleh karena produktifitas atau pendapatan rendah, maka kemiskinan timbul. Demikianlah seterusnya, lingkaran ini berjalan hingga kemiskinan bertambah parah.”
Sedangkan lingkaran keberlebihan dapat terjadi karena: “Harta-harta produktif menimbulkan kapasitas untuk meraih pendapatan yang lebih tinggi. Dengan pendapatan yang lebih tinggi ini selain konsumsi lebih tinggi dan lebih baik kualitasnya juga menimbulkan surplus untuk memperkokoh atau memperluas pemilikan atau penguasaan harta-harta produktif.”
Konsumsi yang tinggi dan berkualitas, termasuk konsumsi kesehatan dan pendidikan, menimbulkan pemupukan modal manusiawi (human capital) yang bermutu. Pemupukan modal manusiawi yang bermutu dan pemilikan harta produktif yang lebih kokoh dan luas menimbulkan kapasitas untuk menumpuk surplus, demikian dan seterusnya. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin bertambah miskin, dalam kompetisi yang amat tidak sehat.
Kebijakan ekonomi rezim orde baru yang menciptakan konglomerat-konglomerat sebagai motor pembangunan dengan sistem pembangunan balon terbang, ternyata tidak mengantarkan manusia Indonesia hidup layak dan bermartabat. Sebaliknya jurang pemisah antara pemilik modal yang kaya raya dan masa miskin semakin lebar. Dan puncaknya prilaku keserakahan inilah yang mengantarkan Bangsa Indonesia kepada krisis yang berkepanjangan. Ibarat penyakit akut yang menyerang tubuh yang ringkih, demikianlah krisis multidimensi yang tiba-tiba menyerang Indonesia. Berbagai sendi kehidupan nyaris lumpuh karenanya. Pembangunan di berbagai bidang yang dilakukan selama puluhan tahun sekonyong-konyong roboh dan segala pencapaian melorot ke titik nadir.
Managemen konglomerasi tidak mengantarkan bangsa Indonesia kepada kehidupan yang layak dan bermartabat, justru sebaliknya menuai kesengsaraan bagi sekian puluh juta rakyat miskin. Konglomerasi hanya membungkus pengusaha untuk semakin serakah dengan wajah yang santun dan beradab.
Para ulama mencatat bahwa setelah surah al-’Alaq, wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad saw., sedikitnya turun 12 surah lagi hingga masa fatrah atau masa jeda. Masa fatrah itu berakhir setelah turun surah al-Dhuha. Kedua belas surah itu adalah: (1) al-’Alaq, (2) al-Mudatstsir, (3) al-Lahab, (4) al-Quraysy, (5) al-Kautsar, (6) al-Humazah, (7) al-Fiil, (10) al-Layl, (11) al-Balad, dan (12) al-Insyirah.
Dari dua belas surah di atas, paling tidak, enam surah menyinggung tentang sikap serakah dan tidak peduli terhadap kaum dhu’afa.
Pertama, adalah surah al-Lahab, yang turun dalam urutan ke-3, disinggung bahwa harta kekayaan dan usaha seseorang sama sekali tidak akan menyelamatkannya dari hukuman di hari akhirat. “Tidak berguna baginya kekayaannya dan apa yang dikerjakannya. Akan dibakar ia dalam api yang menyala.” (Al-Lahab: 2-3)
Kedua, surah al-Humazah, yang turun dalam urutan ke-6, dengan keras mengingatkan akan nasib celaka bagi mereka yang dengan serakah menumpuk-numpuk kekayaan dan menganggap kekayaannya itu bisa mengabadikannya.
“Celaka amat si pengumpat si pemfitnah. Yang menumpuk-numpuk harta kekayaaan Dan menghitung-hitungnya. Ia menyangka harta kekayaannya bisa mengekalkannya.” (Al-Humazah: 1-3)
Ketiga, dalam surah al-Maa’uun, yang turun dalam urutan ke-7 menyatakan orang-orang yang tidak mempedulikan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dikualifikasikan sebagai orang-orang yang membohongkan agama, yang menolak agama.“Tahukah engkau orang-orang yang membohongkan agama. Itulah dia yang mengusir anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang-orang miskin.” (Al-Maa’uun: 1-3)
Keempat, surah berikutnya yang turun dalam urutan ke-8 adalah surah al-Takaatsur, memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang asyik dalam perlombaan dalam kemewahan dan kekayaan.“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (Al-Takaatsur: 1-2)
Kelima, dalam surah al-Lail yang diwahyukan dalam urutan ke-10 diberikan kabar baik terhadap mereka yang suka memberi dan sebaliknya kabar buruk bagi mereka yang kikir dan bakhil.“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga) maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (Al-Lail: 5-11)
Keenam, yang terakhir Surah al-Balad yang diwahyukan dalam urutan ke-11, menyinggung keengganan manusia untuk memberikan bantuan kepada sesamanya yang hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan.
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? Yaitu melepaskan budak dari perbudakan atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat atau orang miskin yang sangat fakir.” (Al-Balad: 10-16)
Pesan-pesan al-Qur’an di atas, yang diwahyukan justru di masa yang sangat awal dari kenabian, sangat jelas dan sama sekali tidak memerlukan penafsiran. Ia memperlihatkan betapa ajaran al-Qur’an yang menjelaskan masalah kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian sosial mempunyai perspektif theologis. Ia tidak sekedar masalah etik dan moral. Ia langsung menyangkut ketauhidan kita.
Kalau kita renungkan mengapa masalah kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian sosial mendapat sorotan tajam pada masa yang sangat awal dari kenabian Muhammad, mungkin kita bisa menarik kesimpulan bahwa risalah Nabi kita itu adalah untuk mengadakan reformasi sosial. Hal ini bisa kita kaitkan dengan penegasan al-Qur’an yang menyatakan bahwa Muhammad diutus tidak lain kecuali dalam rangka membawa rahmat bagi seluruh alam (Q.21:107).
Dengan perkataan lain mungkin kita bisa mengatakan bahwa misi utama dari Nabi Muhammad S.A.W. adalah untuk membantu manusia mewujudkan tata kehidupan yang disemangati oleh nilai-nilai rahmah. Anjuran Nabi agar kita selalu memulai kegiatan dan kerja kita dengan ucapan Bismillahirrahmanirrahim serasa memberikan suatu isyarat agar kita menjadikan diri kita sebagai perwujudan dari nilai-nilai rahmah itu bagi semua makhluk Tuhan. Dengan kata lain apapun profesi kita, motivasi dan orientasi kita tidak boleh bergeser dari ide untuk menciptakan atau setidak-tidaknya menjadi bagian dari proses menciptakan suatu tata kehidupan yang dilandasi oleh nilai-nilai rahmah itu.

* Penulis adalah Dosen Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Malang