Senin, 11 Mei 2009

IBRAH KEMATIAN

Oleh H. Wildana Wargadinata, Lc., M.Ag*
Setiap hari iringan keranda kematian berlalu di depan kita, kita menyempatkan diri untuk sejenak untuk memberi penghormatan dan bergumam inna lillah. Setiap hari senandung la ilaha illallah kita dengar mengiringi kepergian sang mayit ke hadirat ilahi rabbi. Undangan tahlil tidak pernah putus… hari ini pada saat yang mulia ini mari kita renungkan kembali seberapa besar ibrah kematian dapat kita ambil? Seberapa jauh hati kita tersentuh, bahwa kematian adalah salah satu episode kehidupan yang pasti, untuk menuju episode berikutnya? kemudian sejauh mana persiapan kita untuk menyongsong kepastian itu?
Dalam ayat-ayat pertama Surat al-Baqarah diterangkan sifat-sifat utama kaum bertaqwa, yaitu: (1) beriman kepada yang gaib, (2) menegakkan salat, (3) mendermakan sebagian dari harta yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka, (4) beriman kepada kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w., (5) beriman kepada kitab suci yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad s.a.w., (6) yakin akan Hari Kemudian (Akhirat).
Dari sifat-sifat utama kaum bertaqwa itu, sifat yang terakhir, yaitu yakin akan Hari Kemudian, bersangkutan langsung dengan masalah kematian. Yaitu bahwa kematian bukanlah akhir dari segala pengalaman eksistensial manusia, melainkan permulaan dari jenis pengalaman baru yang justru lebih hakiki dan lebih abadi. Jika eksistensi manusia ini dilukiskan sebagai garis berkelanjutan, kematian hanyalah sebuah titik dalam garis itu yang menandai perpindahan dari satu fase ke fase yang lain. Tetapi karena masalah kematian dan apa yang akan terjadi setelah kematian itu sendiri adalah masalah yang tidak empiris (artinya, tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman atau "penelitian" manusia yang masih hidup), maka tekanan dalam deretan firman-firman awal Surat al-Baqarah itu ialah "iman" atau "percaya" dan "yakin". Yakni, percaya dan yakin kepada "berita" dari Allah sebagaimana dibawa oleh para "pembawa berita" atau Nabi
Kematian adalah peristiwa yang mengerikan, mungkin paling mengerikan dalam pikiran manusia yang masih hidup. Di antara kemungkinan pengalaman hidup manusia, barangkali tidak ada yang lebih menakutkan daripada kematian. Karena itu hukuman mati, dalam semua peradaban manusia sampai dengan akhir-akhir ini merupakan hukuman tertinggi dan penghabisan. Namun cukup aneh, bahwa banyak orang, jika ditilik dari tingkah lakunya sehari-hari, seolah-olah ia beranggapan bahwa hidup ini akan berlangsung terus, tanpa akhir. Pandangannya yang keliru itu menimbulkan perilaku kurang bertanggung jawab, karena tipisnya kesadaran bahwa semuanya ini akan berkesudahan, dan bahwa setiap pribadi akan menerima akibat perbuatannya, yang baik dan yang jahat. Misalnya, seperti dilukiskan dalam al-Qur'an, ada segolongan manusia yang sedemikian sibuknya dengan kegiatan mengumpulkan harta kekayaan dan baru berhenti setelah masuk liang kubur, atau mereka itu menduga bahwa harta kekayaan akan membuatnya hidup terus-menerus secara abadi. Ada pula dari kalangan mereka yang berkeinginan untuk hidup seribu tahun, karena tidak melihat kemungkinan kebahagiaan lain selain yang ada di dunia ini saja. Maka al-Qur'an pun senantiasa memperingatkan kita semua bahwa kematian adalah sebuah kemestian yang tidak terhindarkan, dan dalam semangat kesadaran akan akhir hidup itu kita hendaknya mengisi kehidupan ini dengan sungguh-sungguh memenuhi kewajiban moral kita.
"Setiap pribadi pasti akan merasakan kematian. Dan kamu pun pasti dipenuhi balasan-balasanmu di Hari Kiamat" (Ali Imron 185)
"Setiap pribadi pasti akan merasakan kematian. Dan Kami menguji kamu semua dengan keburukan dan kebaikan sebagai percobaan." (Al-Ambiya 35)
"Setiap pribadi pasti akan merasakan kematian. Kemudian kepada Kami (Tuhan) kamu sekalian akan dikembalikan." (Al-Ankabut 57)
"Di manapun kamu berada, kematian pasti akan menjumpaimu, sekalipun kamu ada dalam benteng-benteng yang kukuh-kuat." (An-Nisa’ 78)
Sejauh ini kematian hanya berlalu menjadi kejadian yang dianggap biasa. Kita hanya terhenyak sebentar, kemudian lupa, kembali tidak mawas diri, yang dulunya korupsi ya tetap korupsi lagi, yang maksiat tetap juga. Kematian menjadi peringatan yang sia-sia. Seolah-olah kita tidak akan mati. Seorang ulama besar Hasan al-Basri pernah berkata: tidaklah aku dapati kebenaran yang serupa benar dengan kebohongan kecuali kematian. Kata-kata ini merupakan ilustrasi yang paling tepat tentang sikap manusia dalam menjalani hidup dan menghadapi kematian. Manusia mesti tahu bahwa kehidupannya itu tidak langgeng dan kematian pasti datang, akan tetapi mereka belum mempersiapkan hari akhir dengan persiapan yang layak. Seolah hari balasan tidak ada, hidup santai bahkan ada yang mendustakan hari kimat, padahal hari kiamat merupakan hari kepastian yang ditentukan Allah, Allah berfirman:
“Pada hari ketika manusia dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakanNya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya”. (Al-Mujadalah 6)
“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi bagi Allah”. (Al-Haqah 18)
“Sesungguhnya kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya. Dan orang kafir berkata: “andai dulu aku berupa tanah saja.” (An-Naba’ 40)
Mengingat akan adanya hari kiamat bukan sekedar khayalan sunyi yang hampa. Akan tetapi mengingat adanya hari kiamat adalah pendidikan dan penuntun yang menghindarkan kita dari perbuatan jahat dan dorongan untuk berbuat kebaikan. Dorongan itu muncul karena pada hari pembalasan semua kebaikan dan kejahatan pasti dibalas dengan setimpal. Hal yang terpenting untuk kita adalah yakin adanya hari akherat sebagaimana kita yakin akan kehidupan di dunia. Kita yakin hidup di dunia itu akan berakhir.
Kematian memang merupakan sebuah misteri. Tetapi, dalam hal ini, kehidupan pun merupakan sebuah misteri. Mengapa kita hidup? Dan mengapa kemudian kita mati? Allah menciptakan kematian dan kehidupan untuk memberi kesempatan kepada kita tampil sebagai makhluk moral. Yaitu makhluk yang memiliki kemampuan untuk berbuat baik atau jahat. Dan Allah hendak "menguji" kita, siapa di antara kita yang paling dalam amal perbuatan: "Maha Tinggi Dia, yang ditangan-Nyalah berada segala kekuasaan memerintah, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia yang telah menciptakan kematian dan kehidupan, agar Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang paling baik amal perbuatannya. Dan Dia itu Maha Mulia lagi Maha Pengampun."
Dengan begitu menjadi amat jelas bahwa hidup mempunyai tujuan, dan wujud tujuan itu akan terlihat dalam kehidupan setelah mati. Karena itu hidup ini sering digambarkan sebagai perjalanan menuju tujuan yang sebenarnya, yaitu Allah "Sangkan-Paran" kita semua. Hidup ini harus dijalani dengan sungguh-sungguh, agar tidak lewat begitu saja kepada kita dengan sia-sia.
Karena itu mari kita renungi kembali tujuan hidup kita ini. Tujuan hidup kita jelas untuk mengemban amanat Ilahi, meminjam kekuasaan Allah untuk memakmurkan dunia serta beribadah kepadaNya, kehidupan kita jelas tidak sia-sia hampa tanpa tujuan.
Allah berfirman:
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu’minun 115)
Tidak ada masa depan di sisi Allah bagi orang yang tidak memanfaatkan hidupnya dengan segala kebaikan. Allah adalah Zat Yang Maha Suci, dan tidak tempat bagi manusia untuk hidup di sisi Allah kalau tidak memanfaatkan hidupnya untuk mensucikan diri. Allah adalah Maha Mulia, maka tidak ada tempat bagi orang-orang yang berbuat jahat di sisiNya. Allah Maha Tahu, tidak ada tempat bagi orang yang yang tidak mau menyinari dirinya dengan ilmu. Allah Maha Baik, tidak ada tempat bagi kejelekan. Allah Maha Bersih, tidak ada tempat bagi kekotoran.
Seorang muslim yang masih mengotori dirinya dengan kesombongan, juga harus disucikan dulu sebelum masuk surga. Penghuni surgapun bila berbuat kotor dan sombong juga harus keluar sebagaimana keluarnya syetan dari surga.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit”. (Al-A’raf:40)
Manusia diciptakan dari unsur tanah, nutfah yang kotor dan terhina kemudian diberi ruh. Manusia diberi kesempatan untuk membersihkan diri, menundukkan hawa nafsu, hingga layak kembali kepada yang Maha Suci. Sedang manusia yang hidupnya berlumur dosa bukanlah ahli sorga. Setiap kita dituntut untuk membekali diri dengan amal kebajikan yang dapat mensucikan diri kita dari sifat-sifat hewani kita. Karena kita akan kembali kepada Yang Maha Suci dan Maha Mulia, maka kita harus membekali diri kita dengan kemuliaan, menghilangkan unsur kekotoran dalam diri kita.
Allah berfirman:
“Yaitu orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan kepada mereka Salaamun ‘alaikum, masuklah kamu ke dalam sorga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. (An-Nahl:32)
Islam mengkaitkan hubungan yang sangat erat antara kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, sebagaimana mengkaitkan perbuatan jahat dengan balasannya di akherat. Maka orang yang berbuat jahat pasti akan menerima balasannya.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-orang yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapanNya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai”. (Yunus:81-82)
Allah berfirman:
Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka, amat buruklah apa yang mereka sangka itu.(Jasiyah:21)

* Penulis adalah Kajur Bahasa dan Sastra Arab Fak. Humaniora dan Budaya UIN Malang

Tidak ada komentar: