Jumat, 15 Mei 2009

MEMBANGUN ETOS KERJA

Oleh Wildana Wargadinata*
Menurut Firthjof Schoun (Filsuf Muslim asal Swis) Nabi Muhammad bersama dengan nabi Ibrahim dan Nabi Musa, adalah nabi-nabi yang mengajarkan tentang Tuhan Yang Maha Esa dan cara pendekatan kepada Nya melalui amal perbuatan yang baik, sehingga ajaran mereka disebut ethical monotheism. Berbeda dengan Bhuda Gautama dan Isa al-Masih. Karena itu banyak ilmuan yang memberikan harapan besar kepada Islam karena ajarannya semata-mata mengajarkan pengabdian atas dasar kerja. Tulisan ini akan membahas secara normatif etos kerja dalam perspektif Islam.
Etos berasal dari kata Yunani, dapat mempunyai arti sebagai sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja. Dari kata ini lahirlah apa yang disebut dengan “ethic” yaitu pedoman, moral dan perilaku atau dikenal pula etiket yang artinya cara bersopan santun. Sehingga dengan kata etik ini, dikenal istilah etika bisnis yaitu cara atau pedoman perilaku dalam menjalankan suatu usaha dan sebagainya. Karena etika berkaitan dengan nilai kejiwaan seseorang, maka hendaknya setiap pribadi muslim harus mengisi etika tersebut dengan keislamannya dalam arti yang aktual, sehingga cara dirinya mempersepsi sesuatu selalu positif dan sejauh mungkin terus berupaya untuk menghindari yang negatif. Etika yang juga mempunyai makna nilai kesusilaan, adalah suatu pandangan batin yang bersifat mendarah mendaging. Bukan pandangan yang bersifat sosiologis, tetapi benar-benar sebuah keyakinan yang mengakar sedalam-dalamnya dalam jiwa kita. Dengan demikian yang dimaksudkan etos kerja adalah norma serta cara dirinya mempersepsi, memandang dan meyakini sesuatu. Atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok.
Menurut Toto Tasmara tidaklah semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan. Karena di dalam makna pekerjaan terkandung tiga aspek yang harus dipenuhinya secara nalar, yaitu:
1. Bahwa aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan tanggung jawab (motivasi).
2. Bahwa apa yang dilakukan tersebut ada kesengajaan, sesuatu yang direncanakan, karenanya terkandung di dalamnya suatu gabungan antara rasa dan rasio.
3. Bahwa yang dilakukan itu dikarenakan adanya sesuatu arah dan tujuan yang luhur, yang secara dinamis memberikan makna bagi dirinya bukan hanya sekedar kepuasan biologis statis seperti misalnya (suami istri melakukan hubungan sebadan), tetapi adalah sebuah kegiatan untuk mewujudkan apa yang diinginkannya agar dirinya mempunyai arti.
Di sisi yang lain makna “bekerja” bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset, fikir dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khoiro ummah) atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Untuk lebih jelasnya, coba tengok perilaku kegiatan seorang tukang kayu. Dia menebang pohon, menggergaji, mengampelas dan kemudian membentuk potongan demi potongan menjadi sesuatu yang menakjubkan dalam bentuk ukiran, meja, lemari, atau kerajinan lainnya.
Pada saat dia memandang pohon itu tergambar dalam rasa dan rasio sesuatu (apakah meja atau kursi) dan kemudian dengan dorongan (motivasi jihad) gambaran tersebut dia aktualisasikan dalam bentuk “kerja”.
Maka dari sini kita melihat bahwa dalam makna bekerja, manusia itu mengatasi alamnya. Dia menundukkan alam, dan karenanya berbeda dengan binatang yang bersifat statis serta menjadi bagian dari alam. Sebaliknya, manusia justru karena kedinamisannya mampu mengolah dan mengarahkan alam untuk tunduk pada dirinya.
Dengan demikian secara lebih ringkas, bahwa yang dimaksudkan dengan kualitas hidup islami adalah sebuah lingkungan yang dilahirkan dari semangat tauhid, yang dijabarkan dalam bentuk pekerjaan (amal sholeh).
Mengingat amal sholeh tersebut harus aktual, jelas dan tampak maka di dalam semangat diri pribadi muslim tersebut terkandung motivasi, arah, rasa dan rasio yang seluruhnya dimanifestasikan dalam bentuk tindakan (action).
Islam menjadikan bekerja sebagai hak dan kewajiban individu. Rasulullah menganjurkan bekerja dan berpesan agar melakukannya sebaik mungkin. Rasulullah juga berpesan untuk berlaku adil dalam menentukan upah kerja dan menepati pembayarannya. Pondasi utama yang diletakkan Islam dalam mengatur perolehan penghidupan (makanan pokok) manusia adalah dengan bekerja. Seperti dijelaskan hadits-hadits berikut ini:
“Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil keterampilan tangannya sendiri. Nabi Allah Daud a.s. makan dari hasil kerja sendiri”. (HR. Bukhari)
“Sesungguhnya allah mencintai hamba yang berkarya. Dan barangsiapa bekerja keras untuk keluarganya maka ia seperti pejuang di jalan Allah Azza wa Jalla”. (HR. Ahmad).
“Barangsiapa di malam hari merasa letih karena bekerja dengan tangannya, maka di malam itu ia memperoleh ampunan Allah”. (HR. Ahmad)
Al-Qur’an menjelaskan bahwa pengemban risalah agama dari kalangan nabi dan rasul sepanjang sejarah adalah orang-orang yang berkarya. Di samping mengemban misi suci (risalah agama), mereka juga bekerja.
Nabi Nuh a.s. adalah seorang nabi dan rasul, namun ia juga salah seorang perintis di bidang industri. Allah mewahyukan kepadanya untuk membuat kapal laut untuk untuk menyelamatkan dirinya dan orang-orang beriman dari keganasan angin topan. Permulaan pembuatan kapal adalah dengan tangannya sendiri.
Bapak para nabi, Nabi Ibrahim a.s. menangani pembangunan gedung. Bersama putranya, Nabi Ismail a.s. pernah mengangkat pondasi Ka’bah di Mekah al-Mukarramah. Nabi Yusuf a.s. menggagas pemikiran ekonomi dalam rangka perbaikan manajemen pangan rakyat. Ia pernah mengusulkan kepada penguasa Mesir untuk menanam, memanen dan menyimpan kelebihan pangan untuk persediaan dimusim krisi pangan. Ia pernah ditugaskan oleh penguasa Mesir untuk mengelola sumber-sumber alam di negeri itu untuk membantu rakyat meningkatkan penghasilan mereka.
Nabi Musa a.s. dengan didukung fisik yang kuat dan kejujurannya bekerja pada Nabi Syu’aib a.s. dalam mengelola harta dan membantunya selama sepuluh tahun hingga akhirnya dinikahkan dengan salah seorang putrinya. Dan Nabi Daud a.s. memelopori pembuatan baju perang dari besi, dan ia makan dari hasil jerih payahnya itu.
Hadits-hadits Nabi saw. yang memuat tentang anjuran bekerja, diantaranya adalah: “Iman tidak diterima tanpa amal, dan amal pun tidak diterima tanpa iman”. (HR. Thabrani). “Mencari (rizki) yang hala adalah wajib setelah kewajiban (yang lain)”. (HR. Thabrani)
“Sesungguhnya di antara dosa-dosa terdapat dosa-dosa yang tidak terhapuskan dengan shalat, sedekah dan haji. Dan ia terhapuskan dengan jerih payah untuk mencari penghidupan (rizki)”. (HR. Thabrani)
Banyak pengamat yang menilai etos kerja masyarakat Indonesia sangat rendah. Kuntjaraningrat mencontohkan rendahnya etos kerja masyarakat antara lain tercermin dalam hal suka meremehkan waktu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak disiplin dan suka mengabaikan tanggung jawab. Memperhatikan kenyataan ini perlu diupayakan peningkatan etos kerja tersebut secara terus menerus dengan berbagai jalur dan metode. Menurut Kuntjaraningrat, sekurang-kurangnya ada empat upaya dalam meningkatkan kualitas etos kerja ini, yaitu memberikan contoh yang baik, memberikan perangsang-perangsang yang cocok, persuasi dan penerangan, serta pembinaan dan pengasuhan generasi muda untuk masa depan sejak kecil di dalam kalangan keluarga.
Kenyataan ini jauh berbeda dengan idealitas ajaran Islam, Ibnu Taimiyah bahkan menegaskan hanya Islamlah agama yang memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas kerja, “ penghargaan dalam jahiliyah berdasarkan keturunan dan penghargaan dalam Islam berdasarkan kerja”. Dalam surat al-Najm ayat 38-41 ditegaskan
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna,”
Semoga kita menjadi muslim yang memiliki etos kerja yang tinggi amin. Allahumma ihdina Ya Rab.

* Penulis adalah Kajur Bahasa dan Sastra Arab Fak. Humaniora dan Budaya UIN Malang

Tidak ada komentar: