Jumat, 08 Mei 2009

MEMBUKA KORIDOR UKHUWAH ISLAM

Oleh H. Wildana Wargadinata, Lc., M.Ag*

Misi dasar kedatangan Islam adalah kedamaian dan rahmat bagi sekalian alam. Kedamaian dan kebahagiaan ada dalam persaudaraan. Seseorang akan merasa tersiksa jika berada dalam sebuah keterasingan atau bila dikucilkan dari sebuah komunitas. Persaudaraan itu tumbuh dari adanya perkenalan, perkenalan terjadi karena pertemuan. Dan dari pertemuan, tumbuh kasih sayang, orang bilang, “tak kenal maka tak sayang”. Untuk menuju sebuah perdamaian, manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya harus berdasarkan pada keyakinan bahwa semua manusia itu bersaudara dan bahwa anggota masyarakat muslim itu juga bersaudara.
Rasulullah mengawali risalahnya dengan gerakan taakhy (persaudaraan), mula-mula kabilah-kabilah di Makkah disatukan dalam kata Muhajirin. Sedang suku-suku di Yatsrib disatukan di bawah kata kaum Anshar, kemudian dilebur dan disatukan di bawah kata kaum Muslimin. Islam sendiri sering mengingatkan kita kepada asal kita, yang berasal dari seorang laki-laki dan perempuan (Al-Hujurat; 13). Dan asal kita dari umat yang satu (Al-Anbiya; 92).
Semua itu berproses, namun perjalanan waktu kemudian, membawa umat yang satu itu kepada perpecahan kembali, Islam terus mengingatkan kita kepada risalah persaudaraannya, seperti yang tersebut dalam surat Al-Hujurat ayat 10, bahwa semua orang mukmin itu bersaudara. Dan bahwa perbedaan suku, bangsa, bahasa yang diciptakan Allah adalah untuk saling mengenal dan saling memahami perbedaan masing-masing bukan untuk berpecah dan berperang (al-Hujurat; 13).
Untuk menuju kepada persaudaraan secara menyeluruh perlu proses dan perangkat. Dalam hal ini Rasulullah memberi contoh, seperti pada waktu hijrah, yang pertama kali terpikir dan dilakukan beliau adalah sebuah tempat berkumpul yang ideal. Rumah-rumah sahabat, sudah tidak memungkinkan lagi, karena umat Islam semakin banyak. Maka dibangunlah masjid-masjid. Masjid-masjid itu oleh nabi diberi nama dengan Baitullah, yang mengisyaratkan bahwa tempat itu tidak dimiliki oleh seseorang tapi milik semua kaum Muslimin, sehingga seorang muslim tidak perlu sibuk minta ijin.
Masjid yang pertama kali dibangun adalah masjid Quba’, di tengah perjalanan Rasul ke Yatsrib, dan begitu sampai di Yatsrib yang pertama kali dilakukan Rasul adalah membangun masjid dengan tangannya sendiri.
Banyak hal yang dilakukan Rasul dengan masjidnya, tapi yang paling utama setelah untuk ibadah adalah sebagai sarana berkumpul umat Islam. Karena dengan perkumpulan tersebut umat Islam bisa bertemu, pertemuan adalah langkah menuju perkenalan, dari perkenalan tumbuh kasih sayang dan selanjutnya terbangunlah persaudaraan.
Di Mesir sendiri, masjid lebih dikenal dengan Gami’. Kalau ditanya, “fen masjid?”, mereka akan menggeleng-gelengkan kepala, tanda tidak mengerti, tapi begitu ditanya, “fen Gami’?”, mereka akan secepat kilat menjawab, “aho... aho, gami’ aho”. Jami’ sendiri berarti tempat berkumpul dan bertemu. Di sini nampak fungsi masjid sebagai tempat berkumpul sangat dipahami oleh orang Mesir. Dalam fiqh pun disebutkan bahwa shalat jamaah hukumnya sunah muakkadah, hampir wajib. Itu semua tidak lain, untuk menjaga eksistensi persaudaraan umat Islam itu sendiri.
Agar ukhuwah islamiyah ini terwujud, pertama, harus ada husnudzdzan, prasangka baik terhadap semua saudara. Kalau sejak semula kita punya prasangka buruk, maka segala apa yang dilakukan oleh pihak lain, walaupun itu baik, kita tafsirkan jelek, sehingga menimbulkan keretakan. Kedua, tidak ada monopoli kebenaran, hanya kelompok ini yang benar yang lain salah semua atau monopoli kesalahan kelompok itu salah terus. Prasyarat yang lain agar ukhuwah ini terwujud adalah latar belakang pendidikan seseorang. Semakin tinggi pengetahuan seseorang bisa diharapkan semakin tinggi toleransinya. Sebaliknya semakin rendah pengetahuan seseorang, semakin besar kemungkinan timbulnya hal-hal yang negatif.
Ada hal-hal lain yang perlu dihindari agar ukhuwah ini terwujud: Pertama, hendaknya kita jangan memperolok-olok atau mencemooh orang lain. Allah berfirman: “Wahai kaum yang beriman, janganlah kamu memperolok-olokkan kaum yang lain, barangkali kaum yang lain itu lebih baik daripada mereka.” (Al-Hujurat: 11)
Kedua, tidak boleh berprasangka buruk, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah sebagian besar dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain, jangan pula sebagian kamu menjelek-jelekkan sebagian lain. Adakah diantara kamu yang suka makan daging saudaranya sendiri yang telah mati.” (Al-Hujurat: 12)
Memata-matai juga mencakup mencari-cari kesalahan orang lain.
Ketiga, ukhuwah tidak akan terwujud bila umat Islam berpandangan sempit (ta’assub) terhadap mazhab atau golongannya masing-masing. Fanatisme golongan juga menyebabkan munculnya vested interest pribadi dan golongan. Golongannya sendiri yang diperjuangkan, golongannya yang paling benar, yang lain tidak benar dan tidak perlu dibantu. Ketika orang muslim kembali dikuasai oleh kepentingan pribadi dan golongan. Sejak saat itulah tidak terlihat lagi perwujudan ukhuwah yang betul-betul sesuai dengan yang diinginkan Islam.
Untuk tercapainya suatu ukhuwah yang kuat, dalam kehidupan yang beraneka ragam ini, peran komunikasi (silaturrahmi) sangat menentukan. Yang penting adalah saling pengertian dan memahami (ta’aruf), kemudian bersikap toleran terhadap perbedaan kondisi, dalam rangka fastabiqul khoirat, selanjutnya perlu diwujudkan ta’awun, kerjasama dalam bidang-bidang kebaktian (birr). Ta’awanu ‘alal-birri wat-taqwa.
Di akhir tulisan ini, saya kutip sebuah kisah semoga dapat diambil hikmahnya:
“Aku minta ijin untuk berjumpa dengan Imam Ja’far Ash-Shadiq”, Abu Hanifah mengawali kisahnya. “Tetapi beliau tidak memperkenankan diriku.” Kebetulan datanglah rombongan orang-orang Kufah untuk minta ijin bertemu beliau, dan aku pun masuk bersama-sama mereka. Setelah aku berada di sisi beliau akupun berkata: ”Wahai cucu Rasulullah, alangkah baiknya jika baginda menyuruh orang pergi ke Kufah dan melarang penduduknya mengecam sahabat Rasulullah, aku melihat di sana lebih dari sepuluh ribu orang mengecam sahabat.” “Mereka tidak akan menerima laranganku”, jawab Beliau. “Siapa yang berani menolak anda, padahal anda adalah cucu Rasulullah.” Imam Ja’far menjawab: ”Anda adalah orang pertama yang tidak menerima perintahku, anda masuk tanpa seijinku, duduk tanpa perintahku, berbicara tidak sesuai dengan pendapatku. Telah sampai kepadaku bahwa anda menggunakan qiyas?” “Benar” kata Abu Hanifah. “Celaka anda hai Nu’man. Orang yang pertama menggunakan qiyas adalah iblis, ketika Allah menyuruh bersujud kepada Adam, lalu ia menolak dan berkata engkau ciptakan aku dari api dan engkau ciptakan ia dari tanah.” “Hai Nu’man, mana lebih besar dosanya, membunuh atau berzina?” “membunuh” jawab Abu Hanifah. “Tapi mengapa Allah menetapkan dua saksi untuk kasus pembunuhan dan empat orang untuk zina! Anda menggunakan qiyas untuk itu?” tidak , jawabnya. “ Mana yang lebih besar najisnya, air kencing atau air mani? “air kencing”. “Mengapa untuk kencing diperintahkan wudhu’ dan untuk mani diharuskan mandi, apakah anda menggunakan qiyas dalam masalah itu”. “Tidak”. “Mana yang lebih besar pahalanya, melakukan shalat atau puasa?”. “Shalat” Jawabnya. “Tetapi mengapa wanita yang haid harus mengqodlo’ puasanya dan tidak mengqodho’ shalatnya ? Apakah anda menggunakan qiyas untuk itu?”, ”tidak”.”Mana yang lebih lemah, wanita atau pria?” “wanita”. Tetapi mengapa Allah memberikan warisan dua bagian untuk pria dan satu bagian untuk wanita, apakah anda menggunakan qiyas untuk itu?” “Tidak “jawab Abu Hanifah.
Dialog ini kita hentikan sampai disini, diriwayatkan kemudian Abu Hanifah menjadi murid Imam Ja’far. Padahal Abu Hanifah adalah imamnya Kaum Sunni sedang Imam Ja’far adalah imamnya Syi’ah. Kepada Imam Malik berguru Imam Syafi’i, kepada Imam Syafi’i berguru Imam Hambali. Secara singkat madzhab-madzhab besar itu berhulu kepada sumber yang sama!!! Lantas kenapa kita harus berpecah??? Rabbuna Yahdina.

* Penulis adalah Kajur Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Malang

Tidak ada komentar: